Istiqamah: Lebih dari Sekadar Konsistensi
Seorang santri mendatangi ‘kiainya’, dan terjadilah dialog berikut:
“Kiai, saya mau minta barakah doa.”
“Doa apa?”
“Saya ingin doa agar cepat kaya.”
Sejenak sang ‘kiai’ menuliskan beberapa aksara arab pada kertas yang tersedia di depannya. Ia lalu menyerahkan kepada santrinya.
“Yang penting Istikamah,” Ungkapnya mengakhiri percakapan.
***
Penggalan dialog di atas setidaknya mewakili cerita realita tentang pemahaman masyarakat selama ini terhadap term istikamah; bahwa istilah istikamah kerapkali diidentikkan dengan kontinuitas sebuah amal. Tidak lebih.
Secara kebahasaan, kata istikamah adalah bentuk masdar yang diambil dari akar kata istaqama-yastaqimu yang artinya lurus, teguh, dan konsisten.
Sebagian ulama mendefiniskan, istikamah adalah konsistensi seseorang menempuh jalan yang lurus. Jalan yang lurus adalah jalan yang sesuai dengan ajaran agama. Umar bin Khattab ra. mengatakan: Istikamah adalah menegakkan perintah, menjauhi larangan dan tidak berjalan ke sana ke mari seperti serigala yang mondar-mandir. Ulama tasawuf menyatakan, istikamah berarti bersikap konsisten terhadap pengakuan iman dan islam serta dengan tulus mengabdikan diri kepada Allah untuk mengharap ridla-Nya di dunia dan akhirat.
Sebanyak apapun pemaknaan tentang istikamah, pada dasarnya tetap bermuara pada dua hal, Pertama, iman kepada Allah; Kedua, mengikuti risalah yang dibawa oleh Rasulullah, baik secara lahir ataupun batin. Demikian pernyataan para ahli makrifat. Dari sini kemudian bisa disimpulkan bahwa orang yang istikamah adalah orang yang bisa mengaktualisasikan nilai keimanan, keislaman dan ke-ihsanan dalam dirinya secara total.
Al-Quran sendiri menyebut kata istikamah sebanyak 11 kali dengan bentuk yang berbeda-beda. Kendati demikian, semua bentuk kata istikamah dalam al-Quran tetap mengarah pada istikamah seperti yang didefinisikan para ulama tasawuf di atas.
Jadi istikamah tidak sesederhana apa yang selama ini dipahami. Istikamah tidak sekadar kontinuitas, tapi lebih pada konsistensi seseorang memegang ajarannya. seseorang yang memiliki amal tertentu, hizib tertentu, dan mengamalkannya secara kontinue, tidak serta-merta dianggap orang yang istikamah. Mesti dilihat dulu amal lainnya, apakah sudah sesuai dengan syariat atau tidak. Begitu pula seseorang yang menetap di suatu tempat, tanpa bergerak, tanpa pindah-pindah tidak lantas disebut mustaqim. Menetap di satu tempat dalam masjid misalnya, dengan alasan agar istikamah jelas merupakan problem salah baca dalam memahami istikamah itu sendiri. Kalangan Syafi’iyah memakruhkan hal itu. Dan yang perlu dicatar di sini, barometer istikamah bukan pada parsial suatu amal, tetapi pada totalitas amal yang sejalan dengan syariah.
Allah memerintahkan Rasulullah dan hamba-hamba-Nya untuk senantiasa istikamah, sebab istikamah adalah kunci pembuka kemuliaan. Sebagian ulama bahkan menempatkan istikamah pada tingkatan puncak dari tangga pendakian seorang hamba menuju kesempurnaan makrifat, kebeningan hati dan kemurnian akidah. Ada ungkapan populer yang mengilustrasikan posisi istikamah: “Istikamah adalah inti kemuliaan (’ainu al-karamah).” Dalam term yang agak berbeda: Istikamah adalah hakikat kemuliaan (haqiqat al-karamah).”
‘Ala kulli hal, walaupun nilai istikamah sangat istimewa dalam islam, tidak mudah tentunya untuk mencapai tingkatan itu. Mengejawantahkan Iman, Islam dan Ihsan berjalan bersama dalam kehidupan tidak semudah membalik telapak tangan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda: Istikamahlah kamu, tetapi kamu tidak akan mampu.”
Al-Qurtubi menyatakan bahwa ayat istikamah yang berbunyi fastaqim kama umirta (istikamahlah kamu sebagaimana engkau telah diperintahkan – untuk itu), dalam surat Hud, telah menyebabkan rambut nabi Muhammad beruban. Sebuah riwayat menyebutkan: diceritakan dari Abdurrahman as-Salmi. Dia berkata: Aku mendengar Abi Ali Asy-Syanawi berkata: Aku melihat Rasulullah dalam mimpi, kemudian aku bertanya: Wahai Rasulullah ada sebuah riwayat darimu bahwa engkau pernah berkata: “Surat Hud telah membuat kepalaku beruban.” Rasul menjawab: benar. Aku bertanya lagi: Ayat apakah yang membuat rambutmu seperti itu, apakah ayat yang menceritakan tentang kisah-kisah para nabi atau tentang kehancuran umat terdahulu? Rasul menjawab: “Tidak, tetapi disebabkan ayat berbunyi: Fastaqim kama umirta.” (Muhammad bin ‘Allan ash-Shadiqi, Dalil al-Falihin Vol. 1 hal. 282).
Kita merasa ciut ketika membaca hadits bernada tay’is seperti di atas. Kalau tidak mustahil, sulit rasanya kita akan mencapai tingkatan istikamah. Walau demikian, kita harus tetap berusaha dan bermujahadah semampu kita. Dan pijakannya tetap pada firman Allah yang artinya: “Jika kalian mendapatkan perintah, kerjakanlah semampu kalian.” Wallahu a’lam.
Kamis, 25 Februari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar